Kamis, 30 Juni 2011

Nazaruddin Jadi Tersangka, Apa Kata Demokrat?

JAKARTA – Eks Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Penetapan status ini dinilai cukup mengejutkan mengingat anggota Komisi VII DPR ini belum satu kali pun memberikan keterangan kepada KPK. Lantas, bagaimana Partai Demokrat menyikapi penetapan status tersangka kepada Nazaruddin?

“Sejak awal Partai Demokrat selalu hargai proses hukum. Silakan saja KPK bekerja,” kata Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana saat dikonfirmasi okezone per telepon, Kamis (30/6/2011).

Sutan menambahkan, Partai Demokrat selalu siap membantu KPK untuk memberikan keterangan soal Nazaruddin. Pihaknya juga berjanji tidak akan mencampuri kasus yang melilit sejumlah petinggi Demokrat ini.

“Kami siap berikan informasi. Pada prinsipnya Demokrat sangat terbuka dan tak ada yang kita tutup-tutupi,” tandasnya.

Sutan enggan mengomentari pernyataan Busyro Muqaddas yang meminta bantuan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memulangkan Nazaruddin. Mengingat, selain kepala negara SBY juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

“Soal permintaan itu urusan pemerintah dan bukan urusan Demokrat. Demokrat itu partai jadi tak berhak menyikapi ini,” pungkas Sutan yang juga salah satu tim penjemput Nazaruddin ini.

(teb) okezone

Lolos Hukuman Mati, Tapi Bayanah Dicambuk 300 Kali

JAKARTA- Cerita mengenai penderitaan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri seakan tak pernah habis. Terakhir, nyawa Ruyati binti Satubi, TKI asal Bekasi, Jawa Barat melayang setelah dihukum pancung pemerintah Arab Saudi.

Tak hanya Ruyati, masih banyak TKI yang tersandung masalah hukum di Arab Saudi. Data yang diperoleh koordinator wilayah Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP) mencatat ada sekira 63 TKI yang tersangkut kasus hukum di sana. 11 orang diantaranya terancam hukuman mati.

Seperti dilansir dari data tersebut, Kamis (30//6/2011), sebanyak 15 tenaga kerja yang terancam hukuman mati kini telah bebas. Tapi tak semuanya bebas begitu saja melenggang.

Sebut saja, Bayanah binti Banhawi. TKI asal Tangerang, Banten yang kini telah bebas dari tuduhan membunuh anak majikannya. Bayanah dituding telah mematahkan tangan anak majikan, dan menyiram anak tersebut dengan air panas hingga menyebabkan anak tersebut meninggal. Kini, Bayanah pun lolos dari hukuman mati karena majikannya telah memaafkannya.

Pemaafan tersebut pun tidak secara otomatis membuat Bayanah bisa langsung pulang ke tanah air. Bayanah harus menjalani hukuman penjara lima tahun penjara dan hukuman cambuk 300 kali.

Lain dengan, Bayanah, kasus pembunuhan yang dilakukan TKI juga tak melulu terjadi antara TKI dengan majikan. Hafidz bin Kholil Sulam asal Bangkalan misalnya, dia terancam hukuman mati setelah dituduh membunuh sesama TKI. Kini Hafidz pun telah lolos dari hukuman mati setelah mendapatkan pemaafan dari keluarga korban di Indonesia.
(ugo) okezone

Rabu, 29 Juni 2011

Jimly: Mahfud Md Terjebak Kontroversi

Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa Ketua MK Mahfud Md terjebak kontroversi atas kasus dugaan mafia Pemilu. Polemik dugaan pemalsuan surat Pemilu semakin meluas akibat perseteruan Mahfud dengan mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.

Menurut Jimly, Mahfud seharunya menahan diri untuk tidak terlibat perang dengan Arsyad. Masalah ini seharusnya dapat diselesaikan secara internal atau adu fakta secara hukum di persidangan.

Mengenai tudingan Arsyad yang menyebut jika Mahfud Md adalah seorang yang suka meminta jabatan, Jimly menganggap itu hal sepele. Apalagi, latar belakang Mahfud sebagai politikus. Meski demikian, Jimli mengaku percaya bahwa Mahfud tidak tekait dengan korupsi.

Mahfud Beberkan "Permainan" Andi Nurpati

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD membeberkan kasus dugaan pemalsuan dan penggelapan surat Mahkamah Konstitusi yang dilakukan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum Andi Nurpati. Menurut Mahfud, pihaknya telah mengirimkan surat terkait status Dewi Limpo dengan nomor 112/PAN. MK/VIII/2009 dan 113/PAN. MK/VIII/2009 kepada Andi Nurpati tanggal 17 Agustus 2009. Saat itu, menurut Mahfud, Andi sendiri yang meminta surat-surat itu langsung dikirim ke alamatnya. Namun, saat pertemuan Komisi Pemilihan Umum pada 20 Oktober 2009, Andi hanya memberikan surat dengan nomor 113.

Mahfud mempertanyakan, di mana satu surat bernomor 112 yang telah diberikan pada Andi Nurpati.

"Andi Nurpati mengatakan bahwa surat MK No 112/PAN. MK/VIII/2009 tanggal 17 Agustus 2009 tidak ada stempel MK. Padahal, dua surat sudah dikirim pada hari yang sama, dengan tanda terima yang sama. Mengapa yang bernomor 113 ada, sementara yang nomor 112 tidak ada? Padahal Andi sendiri yang meminta surat itu dikirim ke alamatnya. Berdasarkan kesaksian sopirnya (Andi Nurpati) Aryo dan Matnur di Komisi II DPR, surat itu sengaja diabaikan dan disimpan diarsip oleh Andi, sehingga tak dibawa ke rapat pleno KPU dan pada Ketua KPU," papar Mahfud di Komisi II DPR RI, Selasa (21/6/2011).

Ia beranggapan, jika Andi menyatakan tidak ada stempel, kenapa tidak ditanyakan pada MK untuk memperoleh kepastian surat itu.

"Ketika menerima surat itu, Andi Nurpati tidak persoalkan bahwa surat itu tidak berstempel, kepada MK. Harusnya bisa ditanya jika memang tidak ada stempelnya. Sampai hari ini surat itu pun tidak pernah ditunjukkan, apalagi dikembalikan ke MK," kata Mahfud.

Menurut Mahfud, Andi Nurpati justru menunjukkan surat nomor 112/PAN.MK/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009 yang ternyata palsu. Apalagi, Andi menyebutkan bahwa surat itu dikirim melalui faksimile. Padahal, kata Mahfud, MK tidak pernah memberikan surat melalui faksimile dengan nomor yang disebut oleh Andi Nurpati.

"Dari surat itu (yang palsu) tertera faks MK bernomor 021-3800239. Tetapi, dari PT Telkom menegaskan nomor faks tersebut sudah tidak aktif digunakan lagi sejak Juli 2009 dan tidak ada surat yang dikirim melalui faks tersebut pada tanggal 14 Agustus 2009 seperti yang disebut Andi Nurpati," imbuh Mahfud.

Mahfud juga menegaskan, pada rapat pleno KPU 2 September 2009, Bawaslu telah menyatakan keberatan atas keputusan KPU yang berdasarkan surat palsu itu, karena dianggap tidak sesuai dengan putusan MK No 84/PHPU.C/VII/2009. Namun itu, diabaikan oleh Andi Nurpati.

"Oleh karena surat palsu digunakan dan surat asli ternyata tidak disampaikan pada Ketua KPU dan rapat pleno KPU, maka tindak pidana pemalsuan dan penggelapan sudah terjadi secara nyata," tukas Mahfud. Kompas